halaman

My Time

my conversation on twiiter

Jumat, 10 Februari 2012

DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI EKONOMI MAKRO INDONESIA



DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI EKONOMI MAKRO INDONESIA

  • Krisis Subprime mortgage dan Pelemahan US Dollar

Krisis keuangan dunia yang sedang dihadapi saat ini salah satu penyebabnya bermula dari adanya krisis akibat default dari subprime mortgages di Amerika Serikat yang telah merugikan berbagai lembaga keuangan dunia. Akibat krisis itu Bank Sentral (Fed) Amerika terpaksa menurunkan suku bunga sampai 3% dan menyuntikan dana segar dalam jumlah besar untuk memulihkan kepercayaan investor setelah pasar modal di Amerika Serikat anjlok.

Lembaga keuangan di Indonesia tidak terpapar (expose) langsung dengan krisis subprime mortgage ini, karena perbankan di Indonesia dan negara Asia relatif lebih berhati-hati pasca krisis moneter 1998 yang lalu. Namun demikian bukan berarti ekonomi Indonesia tidak terpengaruh.

Akibat turunnya suku bunga Fed turun sampai 3% maka selisih bunga tersebut dengan BI rate menjadi makin besar karena saat ini BI rate mencapai 8%, akibatnya semakin besar cost of money  di Indonesia. Sementara itu BI juga sulit untuk menurunkan sukubunga karena ancaman inlasi yang meningkat sejalan dengan peningkatan harga minyak dan komoditi lainnya. Untuk mencegah inflasi berlanjut BI harus mempertahankan suku bunga yang tinggi.

Dengan demikian tren penurunan suku bunga yang selama ini dicanangkan oleh BI untuk mendorong tumbuhnya sektor riil, diperkirakan akan terhambat, bahkan ada kemungkinan BI menaikan kembali suku bunganya.Pada gilirannya, hal ini  dapat menurunkan daya beli masyarakat dan menghambat lanju penyaluran kredit yang sudah mulai meningkat dalam dua tahun terakhir ini.

  • Kenaikan harga minyak

Kemelut ekonomi dunia saat ini selain dipicu oleh krisis keuangan di Amreika Serikat juga dipicu oleh kenaikan harga minyak yang mendorong kenaikan harga berbagai komoditi baik yang berhubungan langsung dengan minyak bumi maupun komoditi yang tidak berhubungan langsung tetapi terkena dampak kenaikan harga minyak.

Kenaikan harga minyak yang terus merambat melebihi US$ 100 per barel pada awal tahun 2008  bahkan menembus US$ 118 pada bulan April memberikan dampak negatif kepada ekonomi makro Indonesia karena menyebabkan besarnya subsidi yang harus dipikul Pemerintah.

Asumsi harga minyak sepanjang tahun dalam APBN-P 2008 ditetapkan US$ 95 per barel. Berdasarkan asumsi tersebut besarnya subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp. 126 trilyun.  Dengan harga minyak yang terus berada diatas asumsi harga APBN, maka Pemerintah akan terpaksa meningkatkan besarnya subsidi.

Tingginya harga minyak ini terus menekan APBN sehingga diperkirakan Pemerintah akan mengambil langkah untuk menaikan harga BBM bersubsidi atau melakukan penghematan konsumsi BBM bersubsidi. Saat ini Pemerintah Pemerintah masih belum memutuskan langkah yang diambil, namun diperkirakan kedua pilihan tersebut pada akhirnya akan tetap menyebabkan kenaikan harga BBM yang harus dibayar oleh konsumen.

Walaupun harga BBM bersubsidi belum naik, namun kenaikan harga minyak dunia sudah dirasakan dampaknya. Harga BBM untuk industri yang mengikuti harga pasar terus naik, sehingga mendorong naiknya biaya produksi. Akibatnya harga berbagai barang sudah mulai merangkak naik.

Diperkirakan akibat tingginya harga minyak inflasi tahun ini akan meningkat diatas target Pemerintah yaitu bisa mencapai 8,5%. Menurut Ekonom LPEM UI, setiap kenaikan harga bahn bakar Permium sebesar 10% akan menyumbang inflasi sebesar 1%. Sementara jika kenaikan  harga minyak tanah, maka kenaikan inflasi akan lebih besar lagi.

  • Kenaikan harga komoditi primer

Dampak kenaikan harga berbagai komoditi primer di dunia saat ini memiliki dua sisi yang berbeda. Sebagai produsen berbagai komoditi primer baik barang tambang seperti Nikel, batubara, emas, timah, minyak dan gas, maupun komoditi agribisnis seperti Kelapa sawit, karet, dll, kenaikan harga komoditi menyebabkan nilai ekspor Indonesia meningkat.

Indonesia yang merupakan negara eksportir komoditi pertambangan, diuntungkan dengan kenaikan harga barang tambang. Berbagai perusahaan pertambangan mengalami kenaikan keuntungan yang fantastis.

Seluruh perusahaan tambang yang terdaftar di bursa efek mencatat kenaikan net profit sebesar rata-rata 176,6% pada tahun 2007. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga minyak dan komoditas logam.

Delapan perusahaan mencatat keuntungan bersih sebesar Rp. 3,3 triliun (US$ 359,7 juta) atau naik 215,6% dari tahun sebelumnya. PT International Nickel Indonesia (Inco) mencatat perolehan keuntungan bersih terbesar yaitu Rp. 10,8 triliun (US$ 1,2 milyar). Kenaikan keuntungan bersih terbesar diperoleh oleh PT. Timah yaitu sebesar 757,3% atau setara dengan Rp. 1,78 triliun.

Perusahaan batubara terbesar di Indonesia, PT Bumi Resources mencatat keuntungan bersih tiga kali lipat menjadi Rp. 7,3 triliun.Perusahaan minyak dan gas mencatat kenaikan keuntungan 8,7%. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga minyak dan produksi. Seorang pejabat di Bumi Resources memperkirakan, kenaikan harga akan terus berlangsung pada tahun ini.


Namun kenaikan harga komoditi tersebut juga berdampak kepada kenaikan harga barang-barang dipasar dalam negeri, seperti naiknya harga minyak goreng, kacang kedelai, batubara, dll yang menyebabkan meningkatnya biaya yang harus ditanggung masyarakat. Akibatnya daya beli masyarakat menurun karena meningkatnya inflasi.

  • Kenaikan harga bahan makanan

Seakan reaksi berantai, kenaikan harga minyak mendorong naiknya biaya produksi dan produk substitusinya. Akibatnya harga bahan makanan juga  naik. Hal ini didorong oleh kekhawatiran didunia bahan persediaan bahan makanan pokok seperti beras tidak mencukupi kebutuhan sehingga harganya naik.

Indonesia saat ini lebih beruntung dibandingkan Filipina yang kini menjadi imortir beras terbesar di dunia. Ketika harga beras naik persediaan beras di dalam negeri cukup aman akibat dari keberhasilan panen yang melebihi kebutuhan. Dengan pasok beras yang cukup maka harga dapat distabilkan. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani Pemerintah menaikan harga jual gabah lebih tinggi. Namun kenaikan harga gabah ini tidak banyak membawa dampak yang berarti  kepada harga beras secara keseluruhan  karena ketersediaan pasok yang mencukupi.

Kenaikan harga bahan makanan yang dirasakan oleh masyarakat terutama kenaikan harga bahan makanan berbahan baku kedelai seperti tahu tempe, dan bahan makanan berbasis tepung terigu.

  • Proyeksi ekonomi Indonesia.

Proyeksi menurut Bank Dunia
Dengan melambatnya ekonomi dunia, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan terkena dampaknya. Hal ini disebabkan Indonesia masih bergantung kepada ekspor  kenegara maju seperti Amerika Serikat yang sedang menuju resesi sehingga permintaan terhadap produk impor menurun.

Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia tahun ini menjadi 6,0 persen dari perkiraan terdahulu 6,4 persen, karena ekspornya kemungkinan melambat menyusul melemahnya ekonomi global.

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini melambat menjadi 7,0 persen dari 8,0 persen pada tahun lalu. Sementara permintaan domestik, terutama investasi dan konsumsi, diperkirakan masih akan menguat. Dengan tingginya harga bahan bakar dan subsidi, menurut  Bank Dunia, defisit anggaran Indonesia diperkirakan melebar menjadi lebih dari 2,0 persen terhadap PDB dari 1,3 persen pada 2007, dengan rasio utang terhadap PDB turun lagi menjadi 31 persen pada akhir 2008 dari 35 persen. Tetapi, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan menguat kembali pada 2009.  Revisi proyeksi ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia relatif moderat, karena ekonomi Indonesia diperkirakan  masih bisa tumbuh sebesar 6%. Hal ini menunjukkan pelambatan ekonomi dunia tidak terlalu buruk dampaknya kepada ekonomi Indonesia. Pada 2007, ekonomi Indonesia tumbuh 6,3 persen merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.

Proyeksi ekonomi menurut Pemerintah dan BI
Sementara itu, Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2008 masih cukup tinggi di kisaran 6,2-6,3 persen. Perkiraan pemerintah ini jauh lebih optimistis dibanding proyeksi Bank Indonesia (BI) yang memperkirakan tak akan lebih dari enam persen.

Data pertumbuhan ekonomi Triwulan I-2008 baru akan dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan Mei nanti, menurut  Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito Abimanyu  Anggito, konsumsi rumah tangga riil (setelah dikurangi inflasi, Red) akan tumbuh 5,15 persen. Indikatornya adalah penerimaan PPN Dalam Negeri yang tumbuh 3,7 persen, PPN Impor 32,3 persen, dan PPh 21 Rp 12,4 persen. Indikator konsumsi lain yang cukup menggembirakan menurut Anggito adalah penjualan mobil dan motor yang tumbuh masing-masing 60,5 persen dan 28,6 persen.

Sedangkan konsumsi pemerintah tumbuh 4,02 persen, kebanyakan didorong oleh meningkatnya belanja pegawai hingga 10,36 persen. Selanjutnya, pertumbuhan investasi diperkirakan mencapai 9,5 persen. Kredit Investasi tumbuh 17,9 persen, Kredit Modal Kerja 20,6 persen, dan Belanja Modal Pemerintah tumbuh 49,4 persen.

Indikator investasi yang menunjukkan lampu kuning adalah PMDN yang melambat dengan pertumbuhan minus 13,6 persen, dan PMA minus 19,6 persen. PMDN dan PMA memang melambat. Karena persetujuan investasi memang tak bisa langsung direalisasikan.

Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom mengatakan perkembangan ekonomi global yang belum kondusif, akan membuat pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2008 lebih lambat dari yang diperkirakan. Sebelumnya, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan pertama tahun ini mencapai 6,05 persen.

Proyeksi yang lebih rendah tersebut sejalan dengan perkiraan BI yang juga merevisi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2008. Sebelumnya BI menargetkan di kisaran 6,2-6,8 persen, dengan posisi tengah 6,5 persen. Sekarang ini BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6,2-6,5, dengan posisi tengah 6,35 persen. Pemerintah dan DPR sepakat menargetkan 6,4 persen di APBNP 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar