DAMPAK FAKTOR EKSTERNAL YANG MEMPENGARUHI EKONOMI MAKRO INDONESIA
- Krisis Subprime mortgage dan Pelemahan US Dollar
Krisis keuangan dunia
yang sedang dihadapi saat ini salah satu penyebabnya bermula dari adanya krisis
akibat default dari subprime mortgages di Amerika Serikat yang telah merugikan
berbagai lembaga keuangan dunia. Akibat krisis itu Bank Sentral (Fed) Amerika
terpaksa menurunkan suku bunga sampai 3% dan menyuntikan dana segar dalam
jumlah besar untuk memulihkan kepercayaan investor setelah pasar modal di
Amerika Serikat anjlok.
Lembaga keuangan di
Indonesia tidak terpapar (expose) langsung dengan krisis subprime mortgage ini,
karena perbankan di Indonesia dan negara Asia relatif lebih berhati-hati pasca
krisis moneter 1998 yang lalu. Namun demikian bukan berarti ekonomi Indonesia
tidak terpengaruh.
Akibat turunnya suku
bunga Fed turun sampai 3% maka selisih bunga tersebut dengan BI rate menjadi
makin besar karena saat ini BI rate mencapai 8%, akibatnya semakin besar cost of
money di Indonesia. Sementara itu BI juga sulit untuk menurunkan
sukubunga karena ancaman inlasi yang meningkat sejalan dengan peningkatan harga
minyak dan komoditi lainnya. Untuk mencegah inflasi berlanjut BI harus
mempertahankan suku bunga yang tinggi.
Dengan demikian tren
penurunan suku bunga yang selama ini dicanangkan oleh BI untuk mendorong
tumbuhnya sektor riil, diperkirakan akan terhambat, bahkan ada kemungkinan BI
menaikan kembali suku bunganya.Pada gilirannya, hal ini dapat menurunkan
daya beli masyarakat dan menghambat lanju penyaluran kredit yang sudah mulai
meningkat dalam dua tahun terakhir ini.
- Kenaikan harga minyak
Kemelut ekonomi dunia
saat ini selain dipicu oleh krisis keuangan di Amreika Serikat juga dipicu oleh
kenaikan harga minyak yang mendorong kenaikan harga berbagai komoditi baik yang
berhubungan langsung dengan minyak bumi maupun komoditi yang tidak berhubungan
langsung tetapi terkena dampak kenaikan harga minyak.
Kenaikan harga minyak
yang terus merambat melebihi US$ 100 per barel pada awal tahun 2008
bahkan menembus US$ 118 pada bulan April memberikan dampak negatif kepada
ekonomi makro Indonesia karena menyebabkan besarnya subsidi yang harus dipikul
Pemerintah.
Asumsi harga minyak
sepanjang tahun dalam APBN-P 2008 ditetapkan US$ 95 per barel. Berdasarkan
asumsi tersebut besarnya subsidi BBM ditetapkan sebesar Rp. 126 trilyun.
Dengan harga minyak yang terus berada diatas asumsi harga APBN, maka Pemerintah
akan terpaksa meningkatkan besarnya subsidi.
Tingginya harga minyak ini
terus menekan APBN sehingga diperkirakan Pemerintah akan mengambil langkah
untuk menaikan harga BBM bersubsidi atau melakukan penghematan konsumsi BBM
bersubsidi. Saat ini Pemerintah Pemerintah masih belum memutuskan langkah yang
diambil, namun diperkirakan kedua pilihan tersebut pada akhirnya akan tetap
menyebabkan kenaikan harga BBM yang harus dibayar oleh konsumen.
Walaupun harga BBM
bersubsidi belum naik, namun kenaikan harga minyak dunia sudah dirasakan
dampaknya. Harga BBM untuk industri yang mengikuti harga pasar terus naik,
sehingga mendorong naiknya biaya produksi. Akibatnya harga berbagai barang
sudah mulai merangkak naik.
Diperkirakan akibat
tingginya harga minyak inflasi tahun ini akan meningkat diatas target
Pemerintah yaitu bisa mencapai 8,5%. Menurut Ekonom LPEM UI, setiap kenaikan
harga bahn bakar Permium sebesar 10% akan menyumbang inflasi sebesar 1%.
Sementara jika kenaikan harga minyak tanah, maka kenaikan inflasi akan
lebih besar lagi.
- Kenaikan harga komoditi primer
Dampak kenaikan harga
berbagai komoditi primer di dunia saat ini memiliki dua sisi yang berbeda.
Sebagai produsen berbagai komoditi primer baik barang tambang seperti Nikel,
batubara, emas, timah, minyak dan gas, maupun komoditi agribisnis seperti
Kelapa sawit, karet, dll, kenaikan harga komoditi menyebabkan nilai ekspor
Indonesia meningkat.
Indonesia yang merupakan
negara eksportir komoditi pertambangan, diuntungkan dengan kenaikan harga
barang tambang. Berbagai perusahaan pertambangan mengalami kenaikan keuntungan
yang fantastis.
Seluruh perusahaan
tambang yang terdaftar di bursa efek mencatat kenaikan net profit sebesar
rata-rata 176,6% pada tahun 2007. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga
minyak dan komoditas logam.
Delapan perusahaan
mencatat keuntungan bersih sebesar Rp. 3,3 triliun (US$ 359,7 juta) atau naik
215,6% dari tahun sebelumnya. PT International Nickel Indonesia (Inco) mencatat
perolehan keuntungan bersih terbesar yaitu Rp. 10,8 triliun (US$ 1,2 milyar).
Kenaikan keuntungan bersih terbesar diperoleh oleh PT. Timah yaitu sebesar
757,3% atau setara dengan Rp. 1,78 triliun.
Perusahaan batubara
terbesar di Indonesia, PT Bumi Resources mencatat keuntungan bersih tiga kali
lipat menjadi Rp. 7,3 triliun.Perusahaan minyak dan gas mencatat kenaikan keuntungan
8,7%. Kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga minyak dan produksi. Seorang
pejabat di Bumi Resources memperkirakan, kenaikan harga akan terus berlangsung
pada tahun ini.
Namun kenaikan harga
komoditi tersebut juga berdampak kepada kenaikan harga barang-barang dipasar
dalam negeri, seperti naiknya harga minyak goreng, kacang kedelai, batubara,
dll yang menyebabkan meningkatnya biaya yang harus ditanggung masyarakat.
Akibatnya daya beli masyarakat menurun karena meningkatnya inflasi.
- Kenaikan harga bahan makanan
Seakan reaksi berantai,
kenaikan harga minyak mendorong naiknya biaya produksi dan produk
substitusinya. Akibatnya harga bahan makanan juga naik. Hal ini didorong
oleh kekhawatiran didunia bahan persediaan bahan makanan pokok seperti beras
tidak mencukupi kebutuhan sehingga harganya naik.
Indonesia saat ini lebih
beruntung dibandingkan Filipina yang kini menjadi imortir beras terbesar di
dunia. Ketika harga beras naik persediaan beras di dalam negeri cukup aman
akibat dari keberhasilan panen yang melebihi kebutuhan. Dengan pasok beras yang
cukup maka harga dapat distabilkan. Untuk meningkatkan kesejahteraan petani
Pemerintah menaikan harga jual gabah lebih tinggi. Namun kenaikan harga gabah
ini tidak banyak membawa dampak yang berarti kepada harga beras secara
keseluruhan karena ketersediaan pasok yang mencukupi.
Kenaikan harga bahan
makanan yang dirasakan oleh masyarakat terutama kenaikan harga bahan makanan
berbahan baku kedelai seperti tahu tempe, dan bahan makanan berbasis tepung terigu.
Proyeksi ekonomi Indonesia.
Proyeksi menurut Bank
Dunia
Dengan melambatnya
ekonomi dunia, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan terkena dampaknya.
Hal ini disebabkan Indonesia masih bergantung kepada ekspor kenegara maju
seperti Amerika Serikat yang sedang menuju resesi sehingga permintaan terhadap
produk impor menurun.
Bank Dunia merevisi
proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk Indonesia tahun ini menjadi 6,0 persen dari
perkiraan terdahulu 6,4 persen, karena ekspornya kemungkinan melambat menyusul
melemahnya ekonomi global.
Bank Dunia memperkirakan
pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini melambat menjadi 7,0 persen dari 8,0
persen pada tahun lalu. Sementara permintaan domestik, terutama investasi dan
konsumsi, diperkirakan masih akan menguat. Dengan tingginya harga bahan bakar
dan subsidi, menurut Bank Dunia, defisit anggaran Indonesia diperkirakan
melebar menjadi lebih dari 2,0 persen terhadap PDB dari 1,3 persen pada 2007,
dengan rasio utang terhadap PDB turun lagi menjadi 31 persen pada akhir 2008
dari 35 persen. Tetapi, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Indonesia akan menguat
kembali pada 2009. Revisi proyeksi ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia
relatif moderat, karena ekonomi Indonesia diperkirakan masih bisa tumbuh
sebesar 6%. Hal ini menunjukkan pelambatan ekonomi dunia tidak terlalu buruk
dampaknya kepada ekonomi Indonesia. Pada 2007, ekonomi Indonesia tumbuh 6,3
persen merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir.
Proyeksi ekonomi menurut
Pemerintah dan BI
Sementara itu,
Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2008 masih cukup
tinggi di kisaran 6,2-6,3 persen. Perkiraan pemerintah ini jauh lebih
optimistis dibanding proyeksi Bank Indonesia (BI) yang memperkirakan tak akan
lebih dari enam persen.
Data pertumbuhan ekonomi
Triwulan I-2008 baru akan dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertengahan
Mei nanti, menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Depkeu Anggito
Abimanyu Anggito, konsumsi rumah tangga riil (setelah dikurangi inflasi,
Red) akan tumbuh 5,15 persen. Indikatornya adalah penerimaan PPN Dalam Negeri
yang tumbuh 3,7 persen, PPN Impor 32,3 persen, dan PPh 21 Rp 12,4 persen.
Indikator konsumsi lain yang cukup menggembirakan menurut Anggito adalah
penjualan mobil dan motor yang tumbuh masing-masing 60,5 persen dan 28,6
persen.
Sedangkan konsumsi
pemerintah tumbuh 4,02 persen, kebanyakan didorong oleh meningkatnya belanja
pegawai hingga 10,36 persen. Selanjutnya, pertumbuhan investasi diperkirakan
mencapai 9,5 persen. Kredit Investasi tumbuh 17,9 persen, Kredit Modal Kerja
20,6 persen, dan Belanja Modal Pemerintah tumbuh 49,4 persen.
Indikator investasi yang
menunjukkan lampu kuning adalah PMDN yang melambat dengan pertumbuhan minus
13,6 persen, dan PMA minus 19,6 persen. PMDN dan PMA memang melambat. Karena
persetujuan investasi memang tak bisa langsung direalisasikan.
Deputi Gubernur Senior
BI Miranda Goeltom mengatakan perkembangan ekonomi global yang belum kondusif,
akan membuat pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2008 lebih lambat dari yang
diperkirakan. Sebelumnya, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan
pertama tahun ini mencapai 6,05 persen.
Proyeksi yang lebih
rendah tersebut sejalan dengan perkiraan BI yang juga merevisi pertumbuhan
ekonomi sepanjang 2008. Sebelumnya BI menargetkan di kisaran 6,2-6,8 persen,
dengan posisi tengah 6,5 persen. Sekarang ini BI memperkirakan pertumbuhan
ekonomi di kisaran 6,2-6,5, dengan posisi tengah 6,35 persen. Pemerintah dan
DPR sepakat menargetkan 6,4 persen di APBNP 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar